
Pulau Paskah (Easter Island, Rapa Nui, Isla de Pascua) adalah sebuah
pulau milik Chili yang terletak di selatan Samudra Pasifik. Walaupun
jaraknya 3.515 km sebelah barat Chili Daratan, secara administratif ia
termasuk dalam Provinsi Valparaiso.

Pulau
Paskah berbentuk seperti segitiga. Daratan terdekat yang berpenghuni
ialah Pulau Pitcairn yang jaraknya 2.075 km sebelah barat. Luas Pulau
Paskah sebesar 163,6 km².
Menurut sensus 2002, populasinya berjumlah 3.791 jiwa yang mayoritasnya menetap di ibukota Hanga Roa.
Pulau ini terkenal dengan banyaknya patung-patung
(moai), patung berusia 400 tahun yang dipahat dari batu yang kini terletak di sepanjang garis pantai.
Sejarah
Orang yang pertama kali menempati Pulau Paskah adalah keturunan imigran
dari Polinesia yang kemungkinan berasal dari Pulau Mangareva atau
Pitcairn di sebelah barat. Sejarah pulau ini dapat dihubungkan berkat
daftar raja Pulau Paskah yang telah direkonstruksi, lengkap dengan
rangkaian peristiwa dan tanggal perkiraan sejak tahun 400.
Penghuni asal Polinesia tersebut membawa sejumlah pisang, talas, ubi
manis, tebu, bebesaran kertas (paper mulberry) dan ayam. Pada suatu
masa, pulau ini menopang peradaban yang relatif maju dan kompleks. Ahli
navigasi asal Belanda Jakob Roggeveen menemukan Pulau Paskah pada Hari
Paskah tahun 1722.

Easter Island (Pulau Paskah) dari udara. Pada masa kini kembali sudah mulai ada penduduknya.
Roggeveen memperkirakan sekitar 2.000-3.000 orang menghuni pulau ini,
tetapi ternyata jumlah penduduk mencapai 10.000-15.000 jiwa pada abad
ke-16 dan 17.
Peradaban Pulau Paskah telah merosot secara drastis semenjak 100
tahun sebelum kedatangan Belanda, terutama akibat terlalu padatnya
jumlah penduduk, penebangan hutan dan eksploitasi sumber daya alam yang
terbatas di pulau yang amat terisolasi ini. Namun, hingga pertengahan
abad ke-19, populasi telah bertambah hingga mencapai 4.000 jiwa.
Hanya berselang waktu 20 tahun kemudian, deportasi ke Peru dan Chili
serta berbagai penyakit yang dibawa oleh orang Barat hampir memusnahkan
seluruh populasi, dengan hanya 111 penduduk di pulau ini pada 1877.
Pulau ini dianeksasi oleh Chili pada 1888 oleh Policarpo Toro. Jumlah
penduduk asli suku Rapanui perlahan-lahan telah bertambah dari rekor
terendah berjumlah 111 jiwa.

Perlu
diketahui bahwa nama “Rapa Nui” bukan nama asli Pulau Paskah yang
diberikan oleh suku Rapanui. Nama itu diciptakan oleh para imigran
pekerja dari suku asli Rapa di Kepulauan Bass yang menyamakannya dengan
kampung halamannya.
Nama yang diberikan suku Rapanui bagi pulau ini adalah
Te pito o te henua
(“Puser Dunia”) karena keterpencilannya, namun sebutan ini juga diambil
dari lokasi lain, mungkin dari sebuah bangunan di Marquesas.
Peristiwa-peristiwa baru-baru ini telah menunjukkan peningkatan yang
signifikan pada sektor pariwisata, ditambah dengan besarnya jumlah orang
yang datang dari daratan Chili sehingga mengancam keidentikan Polinesia
di Pulau Paskah.
Masalah kepemilikan tanah telah menciptakan ketegangan politik pada
20 tahun terakhir, dengan beberapa suku asli Rapanui menentang properti
pribadi melainkan setuju dengan tanah tradisional milik bersama.
Lingkungan Hidup
Pulau Paskah yang modern memiliki sedikit pepohonan. Pulau ini dulunya
pernah mempunyai hutan pohon palem. Menurut pemikiran populer yang
berkembang, para penghuni pertama pulau ini telah mengeksploitasi
pepohonan di seluruh pulau untuk membuat tempat moai serta membangun
perahu nelayan dan bangunan.

Patung Moai
bukti yang menunjukkan gundulnya pulau ini bertepatan dengan runtuhnya peradaban Pulau Paskah.
Konteks Midden pada waktu itu menunjukkan penurunan yang mendadak
pada jumlah tulang ikan dan burung ketika para penduduk kehilangan akal
untuk membangun kapal nelayan dan burung-burung kehilangan tempat
sarang.
Ayam dan tikus menjadi sarapan utama para manusia. Berdasarkan sisa-sisa manusia, ada bukti bahwa kanibalisme berlangsung.
Populasi kecil yang masih hidup berhasil mengembangkan tradisi baru
untuk membagi-bagikan sumber yang tersisa sedikit. Pada grup pemuja
manusia burung (manutara), sebuah pertandingan dibentuk manakala setiap
tahunnya sebuah wakil dari setiap suku, yang dipilih oleh pemimpin
masing-masing, menyelam ke laut dan berenang menuju Motu Nui, sebuah
pulau kecil tetangga, untuk mencari telur pertama yang ditetaskan oleh
seekor Sooty Tern pada musim menelur.
Perenang pertama yang kembali dengan telur itu dapat mengontrol
sumber pulau untuk sukunya selama tahun itu. Tradisi ini masih
diterapkan pada saat bangsa Eropa mendarat di pulau ini.
Namun, penelitian baru memunculkan dugaan bahwa keadaan yang
sesungguhnya justru lebih kompleks. Luasnya pulau yang dibersihkan dari
pepohonan hanyalah salah satu ujung akhir dalam sebuah seri
ketidakberuntungan yang dialami Pulau Paskah.

Deretan patung Moai
Sebuah studi mengenai faktor-faktor lingkungan di 69 pulau-pulau di
Pasifik mengatakan bahwa meskipun dipenuhi batu-batu pemujaan, para dewa
ternyata marah terhadap pulau ini.
Pulau Paskah adalah daratan luas yang tidak subur dan kering.
Tanahnya terlalu tandus untuk ditanami pohon-pohon kembali setelah
tanaman asli dipanen.
Pulau ini tidak mendapat keuntungan dari debu vulkanik yang subur
seperti pulau-pulau lain. Jadi, sekali pulau itu dibersihkan, tidak ada
harapan untuk pemulihan.
Ekologi
Pulau Paskah, bersama dengan Sala-y-Gomez, sebuah pulau kecil tetangga
yang tidak dihuni, dikenal oleh para ekologis sebagai kawasan ekologi
yang disebut hutan berdaun lebar subtropis Rapa Nui.

Hutan
basah berdaun lebar subtropis yang asli kini telah lenyap, tetapi studi
paleobotanis mengenai fosil tepung sari dan jamur pohon yang merupakan
peninggalan aliran lava mengindikasikan bahwa pulau ini tadinya berupa
hutan lebat, dengan berbagai jenis pohon, belukar, pakis dan rumput.
Sebuah pohon palem besar, yang berhubungan dengan pohon palem anggur
Chili (Jubaea chilensis) merupakan jenis mayoritas pepohonan, begitu
juga dengan pohon toromiro (Sophora toromiro).
Pohon palem tersebut kini telah punah, dan toromiro punah di alam
liar, sehingga kini pulau ini keseluruhannya hampir dipenuhi oleh padang
rumput. Para ilmuwan sedang memperkenalkan kembali toromiro di Pulau
Paskah.
Artefak kebudayaan
Moai
Patung-patung besar dari batu, atau moai, yang menjadi simbol Pulau
Paskah dipahat pada masa yang lebih dahulu dari yang diperkirakan.
Arkeologis kini memperkirakan pemahatan tersebut berlangsung antara 1600
dan 1730, patung yang terakhir dipahat ketika Jakob Roggeveen menemukan
pulau ini.

Patung Moai
Terdapat lebih dari 600 patung batu monolitis besar (moai). Walaupun
bagian yang sering terlihat hanyalah “kepala”, moai sebenarnya mempunyai
batang tubuh yang lengkap; namun banyak moai yang telah tertimbun
hingga lehernya. Kebanyakan dipahat dari batu di
Rano Raraku.
Tambang di sana sepertinya telah ditinggalkan dengan tiba-tiba, dengan patung-patung setengah jadi yang ditinggalkan di batu.
Teori populer menyatakan bahwa moai tersebut dipahat oleh penduduk
Polinesia (Rapanui) pada saat pulau ini kebanyakan berupa pepohonan dan
sumber alam masih banyak yang menopang populasi 10.000-15.000 penduduk
asli Rapanui.
Mayoritas moai masih berdiri tegak ketika Roggeveen datang pada 1722.
Kapten James Cook juga melihat banyak moai yang berdiri ketika dia
mendarat di pulau pada 1774. Hingga abad ke-19, seluruh patung telah
tumbang akibat peperangan internecine.
Rongo-rongo
Ada berbagai lembaran (tablet) yang ditemukan di pulau yang berisikan tulisan misterius. Tulisan, yang dikenal dengan
Rongorongo, belum dapat diuraikan walaupun berbagai generasi ahli bahasa telah berusaha.

Tulisan Rongorongo
Seorang sarjana Hongaria, Wilhelm atau Guillaume de Hevesy, pada 1932
menarik perhatian tentang kesamaan antara beberapa karakter rongorongo
Pulau Paskah dan tulisan pra-sejarah Lembah Indus di India, yang
menghubungkan lusinan (sedkitnya 40) rongorongo dengan tanda cap dari
Mohenjo-daro. Hubungan ini telah diterbitkan kembali di berbagai buku.
Arti rongorongo kemungkinan ialah damai-damai, dan tulisannya mungkin
mencatat dokumen perjanjian damai, misalnya antara yang bertelinga
panjang dan penguasa bertelinga pendek. Namun, penjelasan tersebut masih
dalam perdebatan.
Demografi
Menurut sensus 2002, populasinya berjumlah 3.791 jiwa. Angka ini naik
dari 1.936 jiwa pada 1982. Kenaikan populasi yang besar ini terutama
disebabkan oleh kedatangan orang-orang keturunan Eropa dari daratan
Chili. Akibatnya, pulau ini terancam kehilangan identitas asli
Polinesia. Pada 1982, sekitar 70% populasi berupa suku Rapanui (penduduk
asli Polinesia).
Namun pada sensus 2002, Rapanui hanya mencakup 60% dari populasi Pulau Paskah.
Bangsa Chili keturunan Eropa mencakup 39% populasi, dan sisanya 1%
adalah etnis Amerika Asli dari daratan Chili. Hampir seluruh populasi
tinggal di kota Hanga Roa.
Suku Rapanui telah bermigrasi dari pulau ini. Pada sensus 2002, ada
2.269 Rapanui yang tinggal di pulau ini, sedangkan 2.378 lainnya tinggal
di daratan Chili (setengahnya tinggal di daerah metropolitan Santiago).
Kepadatan penduduk Pulau Paskah hanya 23 penduduk per km²; jumlah itu
lebih kecil dari masa gemilang pemahatan patung (abad ke-17) ketika
antara 10.000 dan 15.000 penduduk asli Rapanui tinggal di pulau.
Populasi telah menurun hingga 2.000-3.000 penduduk sebelum kedatangan
bangsa Eropa.
Pada abad ke-19, penyakit yang timbul akibat kontak dengan kaum
Eropa, serta deportasi 2.000 Rapanui ke Peru sebagai budak, dan
keberangkatan paksa sisa suku Rapanui ke Chili menyebabkan kemerosotan
populasi Pulau Paskah hingga mencapai rekor terendah 111 penduduk pada
1877. Dari 111 Rapanui, hanya 36 yang mempunyai keturunan, dan mereka
adalah nenek moyang seluruh 2.269 penduduk Rapanui sekarang.